Senja menampakkan gelagatnya. Mentari mulai enggan membersamai sang bumi, pulang perlahan, kembali ke peraduan. Sisa cahyanya yang menyiluet merah saga seperti tak hendak menuruti tuannya. Ia masih menyisa di batas cakrawala, malu-malu dan berangsur meredup. Alam pun mendadak gulita. Orang-orang di desa teratas kaki gunung sudah sedari tadi beringsut masuk ke rumah yang tentu saja lebih menawarkan kehangatan. Tak ada lagi suara anak-anak yang beberapa menit lalu riuh mengganggu orang tua mereka menyiram pucuk-pucuk sawi. Tak ada lagi hiruk pikuk muda-mudi yang bercanda malu-malu di sela tangan yang sibuk menanam biji kacang kara.
Berbeda
jauh dengan gaya penduduk kaki gunung yang mulai hening tertelan malam, puluhan
pemuda pendiri tenda di tanah lapang ujung desa malah mulai terlihat
menggeliat. Suara mereka riuh, gembira. Sesekali di antara mereka
menuding-nuding sang gunung yang berdiri angkuh memaku bumi, dengan takjub dan
berdecak. Kata-kata mulai meluncur riang. Malam itu, puluhan pemuda itu hendak
bersahabat dengan sang gunung. Menapakkan kaki-kaki riang mereka pada tanah
yang mengundak. Bersama harapan akan didapatinya sang mentari pagi di puncak
gunung yang kelak akan merangkak malu-malu menyinari mayapada. Malam itu mereka
hendak mendaki, bersahabat dengan liarnya perdu, hewan gunung, ataupun bebatuan
yang terjal dan berjurang.
Saat
pendakian pun tiba. Perut telah terisi dengan makanan ringan yang akan menjadi
bahan bakar energi. Ransel mereka telah penuh oleh alat pendakian dan bekal.
Kaki-kaki mereka riang, berirama menapak satu demi satu. Mulut mereka hening,
tak bersuara, seolah betul-betul menjaga agar energi tak terbuang sia. Jaket
mulai dirapatkan. Rupanya angin gunung tak mau diajak kompromi. Hebat, ia menerjang
malam hingga baju-baju yang tak terlindungi jaket berkelebat.
Satu
di antara pendaki yang ada, rianglah seorang gadis berusia awal dua puluhan
menjejalkan kakinya. Tak ada yang istimewa dari dirinya. Wajah berkulit sawo
matangnya terbalut jilbab panjang yang mulai menceng sana-sini diterpa angin
nakal. Ada yang menarik dari dirinya, pakaian yang ia kenakan sangat berbeda
dengan yang lainnya. Ia mengenakan rok lebar yang sempurna menutupi celana
panjangnya. Meski sesekali ia menyibakkan roknya ketika jalan begitu terjal dan
kakinya kesulitan melangkah, ia sama sekali tak merasa ribet ataupun kesulitan.
Langkahnya tetap terjaga.
Sebut
namanya Rengganis. Ia bukan lahir dari keluarga santri yang mewajibkan
putra-putrinya berpakaian muslimah. Pakaian yang diklaim beberapa orang sebagai
pakaian khas orang Arab. Rengganis lahir dari keluarga penganut aliran
demokrasi tulen. Bebas berbicara, bebas berperilaku, asalkan sesuai dengan
hukum dan bertanggung jawab. Rengganis memantapkan diri membungkus tubuhnya
rapat dengan jilbab semenjak ia tahu bagaimana adab berpakaian bagi seorang
muslimah empat tahun silam pada sebuah kegiatan keputrian di SMA.
Awal
bersentuhan dengan jilbab, Rengganis merasa jengah. Hobbynya yang lekat dengan
alam, mendaki, climbing, maupun outbond, sangat identik dengan berpakaian serba
ringkas. Bagaimana bisa ia meninggalkan hobbinya sementara tuntutan berjilbab
bukanlah pilihan yang memudahkan ia meneruskan hobbinya. Tak tergambar sedikit
pun pada benak Rengganis, bagaimana ribetnya menganakan kerudung besar dan
bergulat dengan alam. Ia pun tak membayangkan bagaimana harus climbing dengan
celana kulot besar dan jilbab yang berkelebat. Bahkan Rengganis tak pernah
membayangkan bagaimana ia melakukan rapling maupun flying fox dengan seragam
barunya.
Sebuah
pilihan yang sulit. Lama Rengganis merenung, berfikir, hingga akhirnya membuat
sebuah keputusan. Keputusan besar dalam sejarah hidupnya. Baginya, menjadi
seorang muslimah adalah menjalankan ketaatan seutuhnya, meski itu berproses. Ia
tak peduli pada derasnya mode orang yang ramai berbondong mengenakan jilbab
agar kelihatan feminin dan cantik. Rengganis tak peduli. Bahkan tak peduli
ketika seluruh temannya menatapnya menganga saat ia pertama kali mengenakan
pakaian muslimah ke sekolah. Jilbabnya lebar. Bajunya juga tak kalah longgar.
Seperti
pepatah Jawa, “Wijining trisno jalaran saka kulino”, lama-lama Rengganis pun
mencintai dan menikmati penampilannya. Ia merasa tentram. Ada selaksa keteduhan
yang ditawarkan oleh busananya. Bukan sekedar mode yang membooming kemudian
hilang terganti mode yang lain. Meski tak dipungkiri pula, Rengganis memang
terlihat anggun dengan jilbabnya. Lebih menggembirakan lagi, karena ia lantas
tidak kehilangan hobbinya. Ia tetap bisa menekurinya. Mendaki gunung, climbing,
outbond. Tak ada yang berubah dari kebiasaanya. Ia tetap perkasa. Ketakutannya
selama ini hanyalah sebuah bayangan saja. Bayangan yang tak pernah ia temui
karena ternyata berbusana muslimah tidak seribet yang ia bayangkan.
Malam
masih temaram. Puluhan pendaki masih saja bergulat dengan alam. Satu di
antaranya adalah Rengganis yang sesekali membetulkan kerudung karena anak
rambut yang sering nakal keluar menyembul dari penutupnya. Tak ada keribetan di
sana. Tak ada kepayahan dari wajahnya. Ia tetap riang. Seriang kakinya yang
menapak perlahan di balik celana dan rok panjangnya. (Ra)
Subhanllah :)
ReplyDeleteCerita yg sangan menyentuh, patutu dicontoh..
Jilbab lebar tidak menghalagi & mempersulit kehidupan, justru itulah sebagai pelinung bagi muslimah :)