Namanya Jupisa

[ilustrasi]

Namanya Jupisa. Kelas dua SD. Nama itu muncul ketika saya mengikuti rapat kenaikan kelas sebuah sekolah dasar di kampung pedalaman daerah luar Jawa. Waktu itu, saya adalah relawan yang dikirim oleh salah satu perusahaan yang membina sekolah itu. Seperti biasa, di sana, sarjana dari tanah Jawa selalu dianggap mumpuni. Karenanya, meski bentuk pendampingan kami adalah bidang lingkungan, namun kami tetap diikutkan dalam rapat-rapat intern di sekolah. Termasuk dimintai pendapat terkait kebijakan-kebijakan sekolah dalam menaikkan siswa.

Namanya Jupisa. Itu adalah nama yang berkali-kali disebutkan oleh guru kelas dua. Calon anak yang divonis tinggal kelas. Menurut guru kelasnya, Jupisa sama sekali tidak bisa membaca, jarang masuk sekolah, dan tidak memiliki kemampuan yang layak untuk modal duduk di bangku kelas tiga. Akhirnya, forum pun memutuskan ia tetap tinggal di kelas dua. Namanya Jupisa, ya, namanya Jupisa. Nama yang membuat saya penasaran karena rekornya dan ternyata dia adalah satu-satunya siswa muslim di kelas itu.


Saya tidak tahu, angin apa yang menggerakkan hati saya. Hari itu, setelah Kepala Sekolah memanggil orang tua Jupisa dan menyarankan agar Jupisa dileskan membaca, saya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi guru les Jupisa. Kepala sekolah pun menyambut baik tawaran saya, ia mengatakan bahwa orang tua Jupisa sanggup untuk membayar biaya les membaca anaknya. Tentu saja, saya tidak tega membiarkan orang tua Jupisa membayar lesnya. Kalian tahu bukan, gaji buruh kelapa sawit tidak seberapa jumlahnya. Maka tercapailah mufakat, setiap sore kecuali Sabtu dan Ahad Jupisa datang ke rumah saya untuk belajar membaca.

Awal mengajari Jupisa membaca, saya benar-benar merasa heran. Ada ya anak sesusah ini diajari, kata saya dalam hati. Bayangkan, ketika saya mengajari mengeja “be-a BA, te-a TA” Jupisa langsung menjawab BATU. Susah sekali mengajari ia mengeja. Sama sekali tidak nyambung. Namun meski begitu, entah mengapa saya pun tidak merasa jengkel atau marah. Justru saya merasa kasihan, kasihan kepada diri saya sendiri mengapa saya tidak bisa menyamakan frekuensi saya dengan frekuensi anak-anak dengan pemahaman seperti Jupisa, agar ia mengerti tentang apa yang saya ajarkan. Saya sama sekali tidak mengerti ilmunya, karena saya tidak memiliki latar belakang pendidikan untuk anak SD, juga karena saya memang belum pernah mempelajarinya secara detail. Saya hanya percaya, bila Jupisa sering belajar membaca, meski hanya bermula dari menirukan saja, maka suatu saat dia akan memahami bagaimana cara membaca entah seperti apa caranya.

Setelah berbulan- bulan, akhirnya proses pembelajaran itu membuahkan hasil. Meski belum bisa lancar dan harus tetap mengeja, Jupisa mampu menyelesaikan bacaannya satu halaman penuh berisi empat paragraf. Meski masih terbata, Ia selalu antusias dan menunjukkan semangatnya sambil tersenyum. Senyum yang membuat saya sadar, bukan karena saya, yang membuat Jupisa bisa membaca, karena selama ini saya hanya menemaninya membaca, dan membetulkan bila ada yang salah. Akan tetapi, semangatnya lah yang menyala mengetuk langit sehingga Allah memudahkan ilmu itu terserap padanya. Saat saya hendak berangkat pulang kampung, Jupisa masih gemar membaca. Meski terakhir bertemu, ia masih saja keliru membedakan huruf  yang memiliki kemiripan bentuk seperti b dan d. Tetap semangat, Jupisa.

gambar: uptppnfikupang.wordpress.com

Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment