Rasulullah Teladan Penuh Kasih Sayang


Sesungguhnya harga diri ini amat mulia bagi setiap manusia. Boleh jadi ada orang yang memberi nasihat kepada orang lain untuk bersikap pemaaf dan toleran, namun ketika ada seseorang yang menyinggung harga dirinya, ia berontak dan marah. Ini yang umumnya terjadi pada manusia.

Namun yang terjadi pada Rasulullah SAW tidak demikian! Ummul Mukmin, Aisyah, berkata, “Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena sesuatu yang menimpa dirinya. Tapi bila hukum Allah telah dilanggar, beliau akan marah karena Allah.” [HR Bukhari (404), Muslim (327), Abu Daud 4785, Ahmad (25913), dan Malik (1603)]
Contoh tentang hal tersebut sangat banyak dalam sejarah kehidupan beliau.

Dalam kenyataannya, seorang yang melakukan kesalahan kepada beliau ada yang berasal dari kaum muslimin dan ada yang non muslim. Tentunya mereka jauh lebih banyak. Namun, untuk membahasnya kami akan menuliskan satu bab khusus. Dalam pembahasan ini kami ingin menampilkan sebagian sikap beliau kepada orang muslim yang melakukan kesalahan kepada beliau.

Umar bin Khathab berkata, “Kami, kaum Quraisy, adalah kaum yang berkuasa penuh atas istri kami. Ketika kami datang ke tempat kaum Anshar kami mendapati mereka dikuasai oleh istri mereka. Maka mulailah istri-istri kami berperilaku seperti wanita-wanita Anshar. Aku pernah menghardik istriku namun ia malah membantahku. Aku menyalahkannya karena telah membantahku seperti itu. Ia pun berkata, ‘Kenapa engkau menghardikku, sedangkan istri-istri nabi membantah beliau, sampai-sampai ada seorang di antara mereka menjauhi beliau dari pagi sampai malam.’ Aku terkejut. Aku berkata, ‘Celakalah orang yang melakukan perbuatan ini.’ Kemudian aku kencangkan bajuku dan aku pun pergi ke tempat Hafshah sambil berkata, ‘Wahai Hafshah, apakah ada di antara kalian yang marah kepada Rasulullah dari pagi sampai malam?’ Ia berkata, ‘Ya, ada.’ Aku berkata, ’Celaka dan merugilah ia. Apakah kalian merasa aman dari murka Allah, sedangkan kalian telah membuat Rasulullah marah sehingga kalian akan binasa? Janganlah engkau banyak meminta kepada Rasulullah, jangan membantah beliau dalam sesuatu apa pun dan jangan menjauhi beliau. Mintalah kepadaku apa yang engkau perlukan dan janganlah engkau merasa cemburu bila ternyata tetanggamu (Aisyah) lebih cantik dan lebih dicintai oleh Rasulullah dibanding engkau’.” [HR Bukhari (2336), Muslim (1479), Ahmad (222), Tirmidzi (3318), dan Ibnu Hibban (4187)]

Beliau juga begitu penyayang kepada para sahabatnya ketika mereka berbuat salah kepadanya. Diantaranya adalah peristiwa yang terjadi setelah perjanjian Hudaibiah. Para sahabat ketika itu merasa dirugikan dengan isi perjanjian yang sudah disepakati. Mereka ditimpa kesusahan dan kesedihan yang sangat. Namun Rasulullah tetap melaksanakan kesepakatan itu karena Allah yang memerintahkannya demikian. Beliau tidak punya pilihan lain. Lebih-lebih, dalam perjanjian damai itu terdapat banyak manfaat bagi kaum muslimin yang luput dari perhatian para sahabat. Sebab mereka hanya melihat sisi negatifnya saja. Inilah yang membuat mereka menjadi sangat berduka.

Dalam keadaan seperti itu, Rasulullah meminta mereka untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan. Ini dilakukan untuk proses tahallul setelah ihram. Terjadilah sesuatu yang tidak terduga dari generasi yang agung ini. Mereka semua sepakat-tanpa ada persetujuan sebelumnya—untuk tidak melaksanakan perintah ini walaupun beliau telah memerintahkan sebanyak tiga kali.
Ini merupakan yang pertama dan terakhir dalam sejarah sahabat. Kejadian ini benar-benar tidak ada duanya. Tidak seorang pun dari sahabat yang bergerak—karena kesusahan dan kesedihan mereka—untuk menyembelih atau mencukur rambut sesuai perintah Rasulullah.

Kemudian Rasulullah masuk menemui istrinya, Ummu Salamah, dalam keadaan susah dan bersedih. Beliau menceritakan apa yang beliau alami. Ummu Salamah berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan hal itu? Keluarlah dan jangan berbicara sepatah kata pun kepada seseorang hingga engkau menyembelih hewan kurbanmu dan memanggil tukang cukurmu untuk mencukur rambutmu." Keluarlah beliau tanpa berbicara hingga beliau menyembelih hewan kurban dan memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut beliau. Ketika para shahabat melihat hal ini, mereka segera berdiri menyembelih hewan kurban dan masing-masing mereka saling mencukur rambut satu sama lain, sampai-sampai hampir saja mereka saling membunuh karena kesusahan.” [HR Bukhari (2581), Ahmad (1893)]

Yang perlu mendapatkan perhatian dalam kisah ini jelas, bahwa Rasulullah tidak berkomentar sedikit pun tentang kejadian ini. Beliau tidak mencela dari jauh atau dekat tentang kekurangan para sahabat dalam melakukan ketaatan kepadanya. Padahal beliau bukan saja seorang komandan tertinggi dan satu-satunya pemimpin. Tapi lebih dari itu, beliau adalah seorang utusan Rabb semesta alam. Taat kepada beliau merupakan pokok agama dan melawan perintah beliau akan menyebabkan celaka di dunia dan akhirat.

Beliau tidak berkomentar atas kesalahan mereka karena beliau memaafkan, menyayangi, dan memahami kesusahan serta kesedihan mereka. Beliau tahu bahwa kesalahan ini sifatnya sementara, tidak pernah terjadi sebelumnya dan kemungkinan tak akan terjadi lagi setelahnya. Berlalulah kejadian menegangkan ini dengan ketenangan yang menakjubkan. Mereka kembali ke Madinah dan terbangunlah ketaatan setelah maksiat yang mereka lakukan.

Rasulullah ingin membuktikan kepada Umar bin Khathab akan kebenaran pendapat, ketelitian perhitungan, dan kepatuhan beliau terhadap perintah Allah. Rasulullah segera mengutus seseorang untuk memberitahukan kepada Umar, sesaat setelah turunnya surat Al-Fath, yang menunjukkan keagungan perjanjian damai ini hingga Allah menyebutnya sebagai kemenangan yang nyata.

Umar berkata, “Maka turunlah surat Al-Fath. Rasulullah membacanya di depan Umar dari awal hingga akhir.” Umar bertanya, “Wahai Rasulullah apakah perjanjian ini adalah maksud dari kemenangan yang disebutkan dalam surat itu?” Beliau menjawab, “Ya.” [HR Bukhari (3011), Muslim (1785), Ahmad (16018)]

Umar segera menyadari kesalahan yang ia perbuat saat perjanjian Hudaibiyah. Ia ingin menebus kesalahan ini dengan segenap kemampuannya. Umar berkata, “Maka aku pun melakukan beberapa amalan untuk itu.” [HR Bukhari (2581)]
Ia juga berkata, “Aku senantiasa berpuasa, bersedekah, shalat, dan memerdekakan budak atas kesalahan yang telah aku lakukan pada saat itu. Aku takut dengan perkataanku yang sempat aku ucapkan. Dengan satu harap semoga ia membawa kebaikan (yang bisa menghapusnya).” [HR Ahmad (4325), Thabary di dalam kitab Târikhnya II/122, Sîrah Ibnu Hisyam IV/284, 'Uyûnul Atsar II/160]

Sungguh benar-benar sebuah kisah yang sangat menyentuh ini. Peristiwa ini menampakkan adanya kasih sayang Rasulullah dalam bentuk yang luar biasa. Beliau selamanya tidak mempedulikan kesusahan yang menimpa beliau. Seluruh perhatian dan pemikiran beliau dicurahkan untuk umatnya dan begitulah sepanjang hidupnya.

Jika kita hanya melihat kasih sayang beliau terhadap istri-istri dan sahabat-sahabat beliau, bisa jadi ada orang yang mengatakan bahwa beliau melakukannya hanya kepada orang-orang yang dicintainya. Maka marilah kita menyaksikan beberapa sikap beliau kepada sebagian orang yang tak dikenal atau kepada orang yang hanya beliau kenal sepintas, atau kadang-kadang kepada orang yang memusuhi beliau dari orang Islam atau orang munafik.

Anas bin Malik berkata, “Saya pernah berjalan bersama Nabi. Ketika itu beliau memakai sebuah selendang Najran yang sisinya kasar. Tiba-tiba beliau berpapasan dengan seorang badui dan menarik selendang itu dengan keras. Sampai aku melihat ada bekas di leher Nabi saw karena kerasnya tarikan itu. Badui itu berkata, “Berikanlah kepadaku harta Allah yang ada padamu.” Rasulullah memandang kepadanya. Beliau tertawa dan memerintahkan untuk memberinya.” [HR Bukhari]

Kasih sayang Rasulullah terhadap orang badui ini begitu menakjubkan. Adanya kekasaran dan kekerasan ini dalam kehidupan kita bisa menimbulkan reaksi yang sangat keras. Apalagi bila hal ini menunjukkan permusuhan kepada Rasulullah. Terlebih lagi jika kita melihat posisi beliau dalam Negara Islam adalah seorang komandan dan pimpinannya. Pada kebanyakan orang, maksimal tingkat kasih sayang mereka adalah memberi maaf. Adapun sampai menyuruh untuk memberi—tanpa memberi hukuman—adalah puncak kasih sayang.
Ada riwayat yang memintanya untuk meminta maaf atau Rasulullah akan membalas dan melakukan qisas, namun orang badui itu menolak. Walaupun demikian Rasulullah tetap memberinya.

Abu Hurairah berkata, “Nabi biasa duduk dengan kami menyampaikan hadits dalam sebuah majlis. Ketika beliau berdiri, kami pun ikut berdiri hingga kami bisa melihat beliau masuk ke rumah beberapa orang istrinya. Suatu hari beliau menyampaikan hadits kepada kami. Kami berdiri ketika beliau berdiri. Kami melihat kepada seorang badui yang melewati beliau dan menyabet/menerpa beliau dengan selendangnya sampai leher beliau memerah karena selendangnya itu kasar. Rasulullah memandang kepadanya. Badui ini berkata kepada beliau, “Berilah aku bekal semuat dua ontaku karena yang kau berikan bukanlah hartamu atau harta bapakmu.” Nabi berkata, “Tidak. Dan aku mohon ampun kepada Allah. Tidak dan aku mohon ampun kepada Allah. Tidak dan aku mohon ampun kepada Allah. Aku tidak mau membekalimu dengan perbekalan yang diamanatkan kepadaku sampai engkau mendapatkan balasan dariku atas sabetan yang baru saja engkau lakukan kepadaku. Orang badui itu hanya menjawab, “Demi Allah aku tidak akan menerima balasanmu.” Abu Hurairah berkata, kemudian Rasulullah memanggil seseorang dan berkata kepadanya, “Bekalilah orang badui dengan dua ekor ontanya ini. Taruhlah gandum di atas seekor onta dan di atas yang satunya korma.” Kemudian beliau memandang kepada kami dan berkata, “Pergilah kalian dengan berkah Allah.” [HR Abu Daud, Nasa’i, dan Baihaqi]

Tidak bisa dirahasiakan bahwa Rasulullah mampu untuk membalasnya dengan menggunakan kekerasan atau minimal tidak memberinya. Tapi kasih sayang beliau telah mengalahkan keadilannya. Beliau memberinya bahkan memuliakannya.

Barangkali pembahasan ini paling cocok kita tutup dengan sebuah sikap mulia yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ia menyebutkan bahwa seorang laki-laki menagih hutang kepada Rasulullah sehingga para sahabat marah. Rasulullah bersabda, “Biarkanlah dia. Karena si pemilik hak memang diizinkan untuk berkata-kata.” Kemudian beliau berkata, “Berikanlah kepadanya onta yang seumur dengan ontanya.” Para shahabat menjawab, ”Wahai Rasulullah, yang ada hanya yang lebih tua” Rasulullah berkata, “Berikan kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang terbaik dalam membayar hutang.” [HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi]

Kasih sayang Rasulullah kepada laki-laki yang keras ini sangat luas. Laki-laki ini berbuat keterlaluan dan tidak tahu posisi beliau. Para sahabat—yang sudah terkenal dengan kesabaran dan kemuliaan budi pekerti mereka—ketika melihatnya ingin memukulnya atau melarangnya karena saking kasarnya perbuatan orang itu. Namun Rasulullah tetap menunjukan kasih sayang luar biasa. Pertama-tama beliau melarang mereka. Kedua beliau memuji laki-laki ini dan menyifati beliau sebagai seorang pemilik hak. Ketiga, beliau memberinya onta yang lebih baik dari ontanya. Puncak keadilan adalah dengan membayar hutangnya saja. Namun kasih sayang yang luas tercurah kepada siapa saja yang berinteraksi dengan beliau.

Penutup yang paling baik untuk kisah-kisah ini adalah dengan mengingat kembali firman Allah SWT:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment