Jamuan Istimewa


Oleh: Zuna Arridlo 

Masak memasak menjadi kegiatan favoritku di bulan Ramadhan, sejak diriku tidak lagi aktif ikut ngaji pekanan. Berbagai resep dari aneka minuman, cemilan, lauk dan sayur pun kukumpulkan dari tabloid kuliner maupun internet. Aku mempunyai kesibukan baru. Duduk di depan laptop untuk berburu resep terbaru sambil sesekali ngecek FB. Suatu ketika, saat membuka FB mataku tertuju pada undangan Tahrib Ramadhan yang dishare salah satu teman FBku.

Kulihat nama pembicara di undangan tersebut adalah Rita Savitri. Nama yang tidak asing bagiku sama persis dengan orang yang aku kenal. Seolah aku tidak percaya. Dengan cermat aku baca temanya, Jamuan Istimewa Ramadhan. Pikiran yang awalnya berisi soal masak memasak hilang, mungkin juga, bisikku.Tapi ini acara tingkat propinsi. Dan kuperhatikan, ada kata 'chef' di depan nama pembicara. Tiba-tiba ada rasa perih menyelusup sisi batinku. Rasa kuatir terkalahkan.

Rita Savitri adalah temanku sejak kecil. Ia tetanggaku. Mungkin, lebih tepat disebut rival bebuyutan. Sejak TK, SD, SMP hingga SMA kami selalu bersaing. Dari mainan anak, penampilan, pakaian, baju, sepatu, peralatan sekolah, prestasi. Belum lagi fasilitas ortu, cowok, perhatian guru, lomba ini lomba itu. Rita Savitri dan aku Nayla Angraeni, dua nama yang selalu ada untuk saling mengungguli. Puncaknya ketika kami sama-sama ikut kontes kecantikan di kota kami. Bahkan lomba masak setingkat RT pun aku tetap berusaha bagaimana caranya agar tidak dikalahkannya. Meski kutahu ia memang hoby memasak sejak kecil.

Persaingan terus berlanjut sampai kami mahasiswa. Tapi sejak masuk perguruan tinggi, aku merasa lebih unggul. Pilihan fakultasku lebih bergengsi, Managemen. Sementara Rita masuk jurusan Kependidikan Tata Boga. Kostku lebih mahal dan mewah. Apalagi ketika usaha orangtuanya bangkrut, terpaksa ia harus cuti kuliah. Otomatis, aku merasa Rita tak lagi mampu menyaingiku. Terlebih ketika aku dekat dengan kegiatan keislaman dan mulai pakai jilbab, mungkin bisa disebut, aku telah unggul dunia akherat.

Sejak usaha orang tua Rita bangkrut. Mereka sekeluarga pindah ke desa asal nenek Rita. Sejak itu aku sudah tidak lagi mendengar kabar Rita, entah ia cuti atau mungkin saja sudah berhenti kuliah. Terlebih ketika aku sudah lulus lalu menikah mengikuti suamiku ke propinsi lain. Seolah nama Rita telah terhapus.

Di daerah suamiku, semula aku tetap mengikuti ngaji pekanan, yang biasa kami sebut "liqo". Suamiku bukan aktifis dan tidak pernah ikut liqo. Tapi ia membebaskanku untuk tetap aktif liqo. Juga mengikuti kegiatan jamaah liqo kami, maupun acara-acara kepartaian.

Hanya aku saja yang karena merasakan kondisi daerah sangat berbeda, maaf, murobiku, kayaknya ilmunya pas pasan. Kurang wawasan, karakternya cenderung feodal. Kegiatan-kegiatan yang diadakan di sini monoton, tidak ada greget. Terus terang aku merasa tidak mendapat apa-apa, merasa membuang waktu. Mending aku bantu suami di toko, dapat untung lebih banyak. Sehingga dapat berinfak lebih banyak. 

Aku mulai malas datang liqo juga kegiatan kegiatan jamaah apalagi kepartaian. Ketika aku cerita pada Sarah teman liqo di kotaku dulu tentang kondisi daerah suami yang kurasakan, "Mungkin kamu yang terlalu menuntut Nay" komennya.
Coba dia yang berada di posisiku. Dan akhirnya aku pun benar benar tak pernah lagi hadir liqo. Mungkin sudah 7 tahun lebih.

Pada hari H, aku rela menempuh jarak yang lumayan jauh ke ibu kota propinsi untuk membunuh rasa penasaranku tentang Rita Savitri. Aku dandan lumayan menor, lengkap dengan lipstik merah, pensil alis sampai bulu mata. Memang sejak aku tidak lagi liqo penampilanku berubah. Aku tak lagi punya gamis longgar dan jilbab lebar, apalagi kaos kaki. Tapi suamiku suka dengan penampilanku yang sekarang, titik.

Terserah, mereka akan menilaiku apa saja, futur dan sebagainya. Bukankah ladang pahala itu luas tidak meski ikut liqo? Tak harus berpakaian syar'i dulu, baru bisa mengumpulkan pahala? Toh aku masih berjilbab.
"Oke, kalau apologimu seperti itu. Masalahnya, apakah setelah kita tidak liqo lagi, syar'i tidaknya pakaian kita tidak lagi penting? Apakah kita yakin ladang-ladang pahala yang lain adalah milik kita?" Pertanyaan Sarah menohokku, menangkis pembelaanku. Waktu itu aku hanya bisa mengangkat bahu.

Tiba di tempat acara, hadirin sudah hampir memenuhi gedung pertemuan. Penampilan mereka beragam, yang dandan menor seperti aku tidak sedikit. Yang tidak berjilbab juga ada. Maklum, meski ini acara bidang keperempuan salah satu partai Islam, acara ini terbuka untuk umum. Selebihnya memang didominasi para perempuan dengan gamis longgar dan jilbab lebar. Perempuan, maaf, salah sebut, akhwat, tegasku dalam hati dengan nada sedikit nyinyir.

Acara dimulai dengan pembacaan Quran dan sambutan-sambutan. Tibalah pada acara inti. Moderator mempersilakan Rita Savitri maju ke panggung. Aku berharap ada Rita Savitri yang lain. Tapi perempuan tinggi semampai dengan dengan gamis ungu dan jilbab lebar senada itu adalah Rita yang kukenal.
"Cantik sekali dan anggun ya.." komentar ibu di sebelahku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak.

"Setelah menyelesaikan S1 Tata Boga. Beliau melanjutkan study di Eropa. Sekarang beliau adalah chef master...." Moderator menyebut nama hotel berbintang di Jakarta. Kepalaku mulai terasa berat.
"Yang lebih mengagumkan dari Chef Rita, beliau Seorang hafidzoh, hafal 30 juz." Rita tampak menepuk pundak moderator seperti kurang berkenan.
"Maaf, Chef. Maksud saya, agar kami terinspirasi dan termotivasi." Ratna tersenyum. Kepalaku semakin terasa nyut-nyutan. Pikiranku melayang kemana mana. Hingga aku tidak "ngeh" kapan Rita mulai bicara. Tiba-tiba saja suaranya sudah membahana, menguasai gedung.

"Hadirin sekalian, Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Nafas menjadi tasbih, tidur bernilai ibadah, pahala kebajikan dilipat gandakan. Para sahabat dulu menangis setiap hendak berpisah dengan Ramadhan, karena paham betapa berharganya setiap detik-detiknya. Tapi kita sekarang, kita tidak merasa sayang menyia-nyiakan waktu di Ramadhan kita. Kita tidak merasa rugi berjam jam di depan telivisi mentadaburi infotaimen, sinetron, serial india...Bla bla.." Ibu ibu yang duduk di sekitarku nyeletuk bersautan.
"Anak Jalanan."
"Uttaran."
"Catatan Hati Seorang Istri."
"Tukang Bubur Naik Haji."
Kena deh aku.

"Bahkan kita rela ngrumpi berjam jam mengaudit teman, tetangga, dan saudara. Kekurangan mereka kita kupas tuntas, lupa bahwa ghibah itu dosa." Rita mengalunkan Surat Al-Hujarat dengan suara yang kuakui, memang memukau. Lalu ia terjemahkan ayat per ayat ketika sampai pada terjemahan "Sudikah jika kalian memakan bangkai saudaramu, tentunya engkau merasa jijik." Rita mengulang sampai 3x.
"Ternyata kita tidak jijik memakan bangkai saudara sendiri, malah hoby. Bahkan kita lakukan di bulan yang sangat mulia." Spontan istighfar menggema diantara sedu sedan.

"Kita habiskan waktu berjam-jam di dapur. Banyak makanan ingin kita masak. Kita lupa bahwa Allah menjanjikan kenikmatan berbuka meski hanya dengan segelas air dan sekerat singkong. Segala rupa makanan kita sajikan memenuhi meja makan. Padahal yang kita makan tidak seberapa. Sisanya masuk kulkas. Kulkas jadi persinggahan sementara, karena pada akhirnya makanan itu kita buang juga ke tempat sampah." Lalu slide-slide menampilkan gambar orang-orang dan anak-anak dari berbagai belahan dunia. Perut mereka buncit serta badan yang tinggal tulang dan kulit.
"Hadirin, kita lupa hakekat puasa adalah menahan hawa nafsu. Bukan jor-joran melampiaskan keinginan perut. Bukan empati merasakan derita mereka yang tidak punya sesuatu pun untuk bisa dimakan.

"Hadirin, mari kita bayangkan.. Ramadhan ibaratnya adalah sebuah jamuan istimewa. Allah sendiri yang menjamu kita. Aneka menu-menu super special Allah hidangkan untuk kita. Kita semua diundang untuk hadir dan menikmatinya. Bagaimana mungkin kita tidak excited menyambutnya." Perumpamaannya kuakui lumayan ngena.
"Mari kita siapkan segala sesuatunya agar Ramadhan kita bermakna."

Selanjutnya Rita memaparkan kiat menyajikan menu buka dan sahur. Ia menjelaskan aneka menu praktis. Lengkap dengan bahan dan nilai gizi, alokasi waktu dibutuhkan dengan tabel-tabel yang tersaji pada slide. Ia jelaskan pentingnya menyiapkan bumbu dasar. Porsi masakan yang terukur dan sebagainya. 
"Intinya sebagai ibu bagaimana kita sukses menyiapkan hidangan untuk keluarga. Dan harus punya waktu yang leluasa untuk bisa menikmati menu-menu special yang Allah hidangkan untuk kita." 
Hadirin tampak semakin antusias dengan pemaparan Rita. Mataku terasa semakin berkunang.

"Ayo sekarang, semua harus berani pasang target." Rita mulai memprovokasi dengan keutamaan tilawah Qur'an di bulan Ramadhan.
"Ramadhan tahun ini mau khatam berapa kali?" Tanyanya "3x, 5x, 7x atau 10x ?" Tujuh kali, sepuluh kali, sekali saja dalam 5 tahun terakhir aku tidak tembus.

Mataku mulai berat. Kepalaku semakin pusing. Rasanya tubuhku melayang selanjutnya seperti terpelanting bertubi-tubi. Sakit. Aku mesti segera meninggalkan acara, sebelum aku benar benar pingsan. Oke, Rita Savitri, sekarang kamu menang. Mengungguliku dunia maupun akherat.

Malam ini aku benar benar tidak bisa tidur. Berderet pertanyaan berkecamuk memenuhi kepalaku. Benarkah aku sudah kalah dunia akherat dari Rita Savitri?
Bukankah sepanjang nyawa masih di badan aku masih punya kesempatan? Unggul dunia akherat sebenarnya dinilai dari mana? Terus siapa yang seharusnya menilai? Sebenarnya unggul manusia dilihat dari apanya? Masihkan harus mengungguli Rita? Mengapa tidak saja aku mengejar unggul yang sebenarnya untuk diriku sendiri? Lalu aku mesti bagaimana, agar terbimbing meningkatkan keunggulanku? Haruskah aku kembali liqo? Bagaimana jika murobinya nanti tidak ideal?

Pipiku panas, aku merasakan aliran air dari sudut mataku. Sepertinya sudah lama sekali aku tidak menangis. Bukankah unggul yang sebenarnya ketaqwaannya? Mengapa tidak gelar itu saja yang kukejar? Mengejar gelar taqwa. Bukankah puasa adalah sarana meraih taqwa?

Puasa yang seperti apa? Tiba-tiba suara Rita siang tadi mengupas puasa kembali terngiang,
"Thanks Rit, untuk siang tadi" bisikku lirih pada diri sendiri, di antara kecamuk rasaku.
"Maaf, untuk selama ini.." Air mataku semakin deras mengalir.
Astaghfirullahaladzim. Ampuni hamba Ya Allah. Berikan hamba kesempatan membenahinya. Ya Allah, hamba ingin hadir dan menikmati jamuan istimewa-Mu.
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment