Membunuh Televisi di Rumah Kami



Alhamdulillah, warna-warni 121 hari tanpa TV telah tertuang meghiasi kanvas hidup saya. Menjadi mozaik indah penuh warna ceria.

Perkenalkan, saya adalah ibu muda dengan dua anak. Si sulung Dzi kini duduk di  kelas 2 SD, sedang adiknya baru masuk playgroup tahun ini. Saya ingin berbagi cerita tentang bagaimana membunuh televisi di rumah kami.

Pada mulanya, saya begitu prihatin dengan kondisi sulung saya, Dzi. Dia mengalami kesulitan membaca di usia yang anak-anak seumurannya sudah lancar membaca. Tidak hanya sulit membaca, Dzi juga nyaris tidak suka dengan buku. Kejanggalan ini rupanya juga disadari oleh guru di kelas Dzi. Ia mengatakan bahwa sebenarnya Dzi adalah anak yang cerdas, terbukti dengan mudahnya Dzi menghafal, berhitung, dan bercerita. Namun entah mengapa untuk urusan membaca, Dzi begitu sulit dan tidak tertarik.

Merasa sangat terganggu dengan kondisi Dzi, saya mulai mengamati keseharian Dzi dengan lebih serius. Awalnya, saya mengira Dzi mengalami kesulitan berkonsentrasi dan tidak telaten membaca karena termasuk kecenderungan tipe anak yang berotak kanan. Namun setelah diamati lebih dalam, saya merasa ada sebuah kesalahan dalam proses pendidikan yang saya terapkan untuk Dzi.

Dulu, saya sering membiarkan Dzi asyik menonton televisi selama berjam-jam. Saya hanya berfikir tidak mengapa dia menonton televisi, asalkan dia diam dan tidak membuat keonaran saat saya harus mengerjakan tugas rumah tangga. Namun, saya kemudian merasa tertohok oleh catatan Jane M. Healy Ph.D ketika saya membaca sebuah artikel di internet.

"Kuatnya anak memelototi televisi berhubungan dengan merosotnya prestasi akademik anak, khususnya nilai membaca". Hal ini disebabkan karena anak yang sedang menonton televisi, otaknya cenderung banyak beristirahat sehingga otak anak menjadi malas karena terbiasa menangkap saja. Jika ini berlangsung lama, otak anak akan menjadi tidak sabar dengan berbagai materi yang membutuhkan pemrosesan lebih mendalam dalam otak.

Dari situ, saya berfikir bahwa televisi lah penyebab utama Dzi tidak suka diajak belajar membaca. Biasanya bangun tidur Dzi akan langsung menyalakan televisi dan baru berhenti setelah umminya mengomel untuk bergegas bersiap ke sekolah. Sepulang dari sekolah, Dzi juga langsung nongkrongin televisi. Lama-kelamaan saya menjadi sebal dengan benda kotak bernama televisi itu. Ia seperti musuh yang menyulut emosi dan membuat saya harus mengomel setiap hari.

Bagaimana tidak sebal? Setiap kali saya memanggil anak-anak, selalu tidak digubris karena mereka berkonsentrasi penuh pada televisi. Jika mereka disuruh makan, mandi, ataupun belajar, selalu menjawab dengan jawaban "sebentar" karena terlalu asyik dengan acara televisi. Padahal tayangan televisi semakin hari semakin banyak yang tidak layak ditonton oleh anak-anak. Belum lagi iklan-iklan yang tidak mendidik namun langsung dapat dengan mudah ditiru oleh anak-anak.

Dari situ muncullah ide untuk membunuh televisi di rumah. Waktu itu adalah awal musim penghujan. Cuaca yang ekstrim dan banyak petir. Saya berfikir ini adalah waktu yang tepat. Setelah berargumen pada suami sambil menunjukkan buku-buku yang membahas efek buruk televisi terhadap otak anak, akhirnya suami pun sepakat dan mendukung. Kami sepakat melepas antena televisi dan mengatakan pada anak-anak kalau televisinya tidak bisa ditonton.

Awalnya, Dzi merasa kehilangan aktivitas rutinnya. Berkali-kali ia mencoba menyalakan televisi, tetapi yang muncul di layar hanyalah gambar semut bertebaran. Dengan halus saya menjelaskan pada anak-anak sisi negatif menonton televisi, dengan bahasa mereka tentunya. Saya pun mulai mengajak anak-anak untuk lebih sering ke toko buku, dan mengaktifkan kembali ritual dongeng sebelum tidur dengan lebih ekspresif. Saya membebaskan anak-anak untuk bermain lebih banyak di luar, menangkap belut di sawah, berendam di kolam ikan, bermain lumpur dan pasir, bahkan bermain hujan-hujanan.

Saya juga tidak pernah terlambat menyediakan buku bacaan yang bergizi dan menarik bagi anak-anak. Butuh biaya ekstra memang, karena sudah menjadi rahasia umum, buku bagus harganya pun bagus. Bila hidup di kota besar, mungkin saya bisa mengajak anak-anak untuk mengunjungi perpustakaan sehingga bisa meminjam buku sebagai alternatif.

Secuil pengalaman saya, ternyata hidup tanpa TV itu sangatlah menyenangkan, terasa manis asin gurih, karena pahitnya telah ditinggalkan. Dulu Dzi mengalami kesulitan membaca, tp dengan tidak adanya televisi, sekarang Dzi mulai betah membaca deretan huruf di buku-buku yang kami sediakan.

Dengan membunuh televisi di rumah kita, berarti musuh utama kita telah tumbang. Ini akan meringankan langkah kita selanjutnya. Sekali anak-anak jatuh ke pelukan hiburan televisi, mereka akan setia memelototi gambar-gambar bergerak itu.

Melihat kakaknya kini rajin membaca, adik Dzi yang masih balita pun menjadi semangat belajar membaca juga. Apalagi melihat cerita bergambar yang lucu-lucu dan berwarna-warni. Keakraban dan kehangatan keluarga pun semakin terajut. Waktu keluarga untuk mengobrol, main bareng pun lebih longgar karena tidak ada lagi si televisi pengganggu.
Tidak hanya pengetahuan anak yang melimpah ruah, tetapi pengetahuan orang  tua pun secara tidak langsung turut terasah karena seringnya membacakan cerita untuk anak-anak.

Kini, prestasi Dzi pun ikut terkatrol, nilai 100 menghiasi beberapa lembar tesnya, hafalannya meningkat pesat. Semester ini, Dzi kembali menyandang  predikat hafidz terbaik kelas 2.

Kesehatan dan keceriaan keluarga juga terwujud. Olahraga bersama seperti jalan pagi, badminton, renang kini menjadi agenda rutin. Memasak dan makan bersama menjadi sangat menyenangkan tanpa ditemani televisi. Hari libur bukanlah waktu yg dinantikan oleh anak-anak untuk melihat film kartun, tetapi menjadi momen bersilaturahmi, merefresh otak, dan memperlancar rizki.

Marilah mulai hidup cerdas tanpa televisi, banyak manfaat, sedikit mudharat. Janganlah kita sia-siakan periode emas anak kita dengan membiarkannya mengakrabi televisi. [Shanty]
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment