Sampai Kapan Kita Impor?



Oleh : Riyono Abdullah*

Sampai Kapan Kita Impor? Pertanyaan ini tidak ada yg bisa jawab, artinya memang bangsa ini harus menyiapkan peta jalan untuk berdaulat pangan ini bagaimana?

Semua presiden negeri ini sejak Soekarno sampai SBY 2x menjabat belum ada yang punya roadmap jelas soal kapan kita akan "berhenti" impor. Bahkan tiap presiden punya sejarah "kelam" soal pangan negeri ini, zaman Soekarno pernah terjadi harga beras sampai 50.000 / kg. Zaman Soeharto semua murah, bahkan bisa Swasembada Beras, namun impor juga masih jalan terus. Megawati mencatat rekor dengan impor beras terbesar sepanjang sejarah : 4,1 juta ton beras. Zaman Gus Dur menyisakan kasus Bulog sebagai kreator pangan yang membuat kepala Bulog di penjara. SBY menjabat 2x, impor negeri kita juga memecahkan rekor: importir jenis produk TERBANYAK di dunia, khususnya produk pertanian.

Catatan BPS jan - juni 2011 : nilai impor 5,36 M US Dollar atau sekitar 45 T, th 2010 : 39,91 Trilyun, dari th 2010 ke 2011 naik 7 %. Diperkirakan 2013 impor kita naik 10 persen, BPS mencatat per juli 2013 impor kita tembus 17,42 M US dollar atau naik 11,4 %. Total impor dr jan - juli 2013 : 111,83 M US dollar, kondisi membuat defisit neraca perdagangan tercatat:2,31 M US dollar, terbesar dalam sejarah.

Kenapa bisa sebesar itu? Karena pemimpin negeri ini senangnya IMPOR dan IMPOR. Dan defisit ini diperkirakan akan terus naik pasca keputusan Kemendag melakukan impor dengan sistem NON Kuota, boleh impor berapapun. Jadi jelas bahwa capaian kerja ekspor impor kita lemah, apalagi soal impor pangan yang selalu diambil pemerintah akibat miskordinasi antar lembaga.

Kenapa impor menjadi andalan utama? Karena pemimpin kita selalu instan dan instan, buktinya : OPERASI PASAR jadi andalan. Inilah yang membuat kerja keras produksi pangan nasional melemah, petani yang sudah semangat jadi loyo karena melihat impor tidak terbendung.

Importir tidak melihat hasil petani, mereka lebih senang petani asing dengan berbagai alasan klasik. Bahkan kebijakan pangan cenderung ikut WTO yang liberal, buktinya : importir kedelai merajai kuota, Bulog hanya dikasih 20.000 ton. Importir berpesta pora, mereka tidak mau keuntungannya berkurang, terus nambah dan nambah via IMPOR Jalan terus dan semakin BESAR.

Dugaan Kartelisasi pangan oleh importir-importir jahat terus diselidiki, namun kita belum dengar importir di hukum. Jadi impor pangan saat ini sudah "wajib" bagi pemerintah tanpa ada upaya dan dukungan serius dari pemimpin untuk bebas dan mandiri. Selalu yang jadi korban Kementan, padahal kita tahu Juli 2013 RI mendapat penghargaan FAO sebagai negara yang swasembada pangan. Namun gaung prestasi ini hilang karena isu daging mahal dan sekarang kedelai mahal padahal disinyalir ini permainan importir.

Fakta lain bahwa anggaran pertanian kita tidak lebih dari 2 %, bagaimana mau produksi? AS dan sekutunya mencapai 30 % dari APBN mereka. Politisi DPR belum serius memperjuangkan anggran pertanian. Kita fair aja: kasih anggaran 10 % untuk pertanian, 5 tahun target swasembada dan berdaulat pangan, jika mentri tidak mampu mundur saja. Jika politik anggaran pertanian ke depan masih seperti jaman SBY maka siapapun presidennya jangan mimpi kita berdaulat pangan. 

Terakhir : Jonh Perkin (2005) mengingatkan bahaya impor menjadi bahaya terbesar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Mari kita hindari makan makanan impor termasuk buah sebagai bukti kita adalah Nasionalis

Sumber : https://twitter.com/Riyono_PPNSI
* Sekjen DPP PPNSI (Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia)
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment