PKS Tak Bayar, Ya! Wajar Dihajar Media!


Oleh Idrus Dama
Kompasioner

***


Media Benar, membela yang bayar! Kalimat itu yang saya ingat ketika mengikuti seminar ilmu komunikasi politik di kampus. Dalam seminar itu saya belajar bagaimana mengenal seorang politisi pembohong dari  tindak tutur. Lebih menarik lagi, pembicaranya nih adalah seorang wartawan juga yang kemudian berhenti  setelah bertahun-tahun menggeluti profesinya sebagai wartawan.  

Materi yang disampaikan pun cukup memukau, sentak dia mengatakan kepada mahasiswa “carikan saya di Indonesia media berita yang independen?” sambil menunjuk kepada mahasiswa yang berada di depannya. “Tidak ada media berita yang saat ini masih Independen, semuanya ditunggangi oleh politik”. Pembahasan pun berlanjut berjam-jam. Diskusi memanas menusuk ke sum-sum media dengan segala pernak-pernik bahasa dan  kepentingannya.

Dari Seminar ini, saya akhirnya memahami, betapa media berita sama bejatnya sama koruptor. Media berita  dan segala oknum wartawannya yang terlibat juga “penjilat”. Saya juga wartwan salah satu media lokal yang akhirnya keluar dan membangun media sendiri karena tidak ingin terseret dalam kondisi kemunafikan.  

Oknum wartawan dalam media layaknya  penjual makanan yang harus  mencari pelanggan untuk memakan menu yang dia sediakan. Terlepas haram atau tidaknya menu yang disajikan, urusan perutlah yang lebih utama. Tak jarang para wartawan idealis segera ditendang dari media yang memiliki orderan besar. 

Media berita pun tak ingin bangkrut hanya karena idelaisme seorang wartawan.  Hal ini terjadi kepada salah seorang teman wartawan saya yang kerap kali dipanggil Syam Terajana. Ia segera keluar dari media dimana dia bekerja hanya karena diminta untuk mencari pengiklan. Tentu pengiklan bukan sembarangan, pengiklan yang punya SK begitulah. Karena ia tidak mau melakukan hal itu, akhirnya dia hengkang dari media tersebut.

Dari kekecewaan itulah dia menulis sebuah artikel tanda kekecewaan dengan judul “ Wartawan bukan Pencari Iklan”.  

Apa inti dari kejadian ini, media berita benar-benar tidak bisa berlaku adil dan bijaksana dalam pemberitaan. Jika uang pesangon dari si A lebih besar, maka si A akan dibesar-besarkan dan lainnya akan dijatuhkan.  Hal ini pun bukan terjadi di tataran media lokal. Tetapi juga di media nasional lainnya. Saya tak perlu menyebutkan, cukup amati dan idetntifikasi pemilik media itu dan lihat performanya di saat memberitakan.

Saya akan kaitkan dengan media berita dalam pemberitaan politik. Dalam rubrik politik ini, pasien  yang saya angkat terkait partai yang sedang jadi buah bibir Indonesia. Pasien itu adalah  si PKS.  Silahkan  anda amati keseimbangan pemberitaan dan keberpihakan media di salah satu parpol.  Ketika PKS melakukan sesuatu, oleh media,  satu berita tentang  PKS dipecah menjadi 5 sampai 10 angle berita. Hal ini akan terlihat melebih-lebihkan. Tujuannya pun jelas untuk mendapatkan rating tinggi di media lain terutama media online yang butuh pageview yang banyak untuk mendapatkan peng-iklan berkelas juga.

Untuk media Online, Sebagai contoh IdBlognetwork.com  selaku penghubung instansi dan media publiser memberikan syarat alexa ranking blog anda dibawah 10,000,000 (10.000?) global ranking. Nah, untuk mendapatkan itu, berbagai media online harus memecah angle sebanyak mungkin terhadap topik yang hangat. Benar atau tidak tidak peduli yang penting dapat pengunjung yang banyak, klik iklan creeettt…dapet bayaran deh…!!

Hal inilah yang disebut oleh Fahri Hamzah sebagai Wartawan yang memakan bangkai saudara sendiri. Wartawan rela menyebar  berita yang sengaja anglenya sudah diorder oleh pihak tertentu kemudian dirasionalisakan menjadi  berita. Hal inilah yang disebut oleh media “Bad news is good news”. Jika demikian kondisi media, maka jangan pernah berharap negeri ini akan keluar dari keterpurukan.

Pernah kah media meliput kekayaan Freeport  yang dikuasai negeri asing. Beranikah media menelusuri latar belakang Freeport untuk dipublish di media beritanya agar Rakyat Indonesia tahu. Hal yang terjadi adalah, tulisan mereka yang kritis bahkan menjadi sampah dalam folder media dan tidak diekspos di pemilik media. Karena itulah, para kritikus hanya bersuara di blognya atau web sendiri. Sementara rating media itu masih rendah di mata Indonesia. Akibatnya berita yang seharusnya rakyat Indonesia tahu tidak kesampaian.

Media lebih suka membuka aurat partai lawan dari para sponsornya untuk bisa mendapatakan bayaran. Kasihan juga saya melihat hal ini. Olehnya itu, saya ingin menyampaikan ke pada pemilik media, cobalah menjadi agen pendidik masyarakat dengan berita yang mendidik dan benar adanya. Bukan berita yang sengaja dibuat-buat untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap hal-hal yang goblok.

Terakhir, saya ucapkan terima kasih kepada team kompasiana yang telah membuka media ini. Saya masih percaya kompasiana dalam Indepensi media. Buktinya, hari ini ide saya masih bisa saya sampaikan dengan bebas dan berita apa pun yang saya ingin tuliskan terpublish dengan bebas. Tentu masih dalam koridor tertentu.

Mari kita cerdaskan rakyat dengan media yang sehat dan mendidik. Jangan jual harga diri media dengan menjual menu berita murahan yang ahanya akan merusak idealisme media itu sendiri.

Salam Cinta

Idrus Dama

*politik.kompasiana.com
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment