Buku Harian Adilla


Episode Ma`aLlah

Tak Tergadai di Pelukan Duka

Adilla melangkah gontai ke tempat parkir motornya, sesekali memijat kepalanya. Sambil menahan pening.
Ia harus ke tempat  fotocopi. Di saat seperti ini terbayang lebih jelas wajah keluarganya di Magelang. Ibu, bapak, kakak adik yg siap siaga utk direpoti meski dirinya sehat dan sempat. Adilla menahan nafas dan menghembuskannya perlahan. Ada rasa menyelusup, tiba-tiba sekarang ia merasa sendiri.

   Adilla baru saja akan mengeluarkan kertas dari tasnya,
"Listriknya mati, Mbak," ujar petugas fotocopy dengan senyum dan mimik kasihan,
"belum juga 5 menit," sambungannya Adilla mengangkat bahu.

 Ia baru akan menuju ke motornya tiba-tiba ia  mendengar  suara mobil mendekat ke arahnya. Lalu berhenti tak jauh darinya. Pintu mobil dibuka, dari belakang kemudi seorang wanita  tersenyum memangil namanya. Adilla hanya terbelalak, seperti tak percaya dengan penglihatannya. Ia kucek matanya.

"Adilla!" ulangnya memangil.
"Mbak Rahma," pekik Adilla. Lalu dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam mobil menghambur ke arah suara dan memeluk dengan erat. Adilla semakin mengeratkan pelukannya sambil berurai air mata. Adilla seperti ingin turut menopang beban duka wanita yang pernah jadi murobinya itu. Tapi wajah di hadapannya benar-benar tak menyiratkan  duka.

    Terbayang peristiwa satu setengah tahun yang  lalu, ketika ia hendak mengirim paket kado pernikahan untuk Mbak Rahmanya ke Padang. Laksana petir di siang terik, saat mendengar kabar musibah yang menimpa murobinya tersebut. Seminggu menjelang pernikahannya ia dan seluruh keluarganya pergi untuj fiting terakhir baju untuk pesta walimah. Ketika pulang dari fiting, musibah itu terjadi. Mobil yang berisi ayah ibu, kakak, dan dua adiknya bertabrakan dengan truk. Kecelakaan itu mengambil semua keluarganya dan dua kakinya yang diikuti dengan pembatalan pernikahannya.

  Adilla sungguh tak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban duka sang murobbi. Saat itu sungguh ia ingin bisa ke sana, tapi  Padang baginya terlalu jauh, terkendala untuk ditempuh.

Kini sang murrobi duduk disampingnya. Adilla masih menelisik mencari sisa duka di wajah murobbinya, tapi ia gagal menemukannya meski hanya guratan tipis.
 "Mbak Rahma." Adilla hanya bisa sesenggukan. Ia tak punya kata untuk menyambung ucapannya.

 "Semua  adalah milik-Nya,Dill. Ia yang paling berhak mengambilnya kembali." Adilla hanya mengangguk mendengarnya.
"Kita bisa kehilangan apapun dan siapapun dalam hidup kita, tapi Allah selalu ada. Tak pernah pergi dari kita. Ia selalu bersama kita. Meski kita tak punya siapa siapa lagi, sejatinya kita tak pernah benar benar sendiri." Sambung Rahma dengan suara yang agak berat seperti bicara pada dirinya sendiri. Sambil sesekali memejamkan matanya. Bagaimanapun kehilangan seluruh anggota keluarga, dua kaki, pembatalan pernikahan yang sudah sedemikian dipersiapkan adalah duka lara yang sangat. Apabila tidak bersandar pada Allah, ia tidak tahu lagi bagaimana kondisi psikisnya.
"Iya, Mbak," suara AdilIa diantara sesunggukannya.

"Hidup ini terlalu sementara, terlalu sayang untuk kita gadaikan dalam pelukan duka. Ma`allah Dill, merasa dibersamai Allah. InsyaAllah seberat apapun beban, kita  akan bisa melaluinya."  Rahma menepuk paha Adilla. Adilla masih saja sesenggukan, ia malu pada dirinya sendiri. Siapa yang dapat musibah siapa yang menguatkan.

"Aku ambil S2 di sini Dill, ternyata aku belum bisa ninggalin Yogya ya, Kota  ini memang sesuatu." Rahma mengalihkan  pembicaraan. Sementara AdilIa masih saja bengong.
"Oke, aku lanjut jalan dulu ya, Dill. InsyaAllah masih banyak kesempatan kita bertemu," ucap Rahma pelan. Adilla kembali memeluk wanita di sampingnya tersebut. Sebelum dengan berat melepasnya dan turun dari mobilnya.
"Hati-hati, Mbak," ucap Adilla sambil melambaikan tangannya. Ia mengikuti mobil dengan padangan matanya. Meski sesekali mobil Rahma tertutup kendaraan di belakangnya. Adilla masih belum melepaskan pandangannya. Sampai mobil benar benar hilang ditelan jarak.

   Dalam perjalanan pulang berkecamuk rasa dalam dadanya. Ia harus belajar pada murrobinya tentang ma`allah yang tidak sekedar disampaikan dengan lisan tapi benar-benar teraplikasi dalam kehidupan.

  Sampai di kosan meski pening masih terasa tapi AdilIa merasa telah mendapat suntikan energi.
   Adilla mengambil buku hariannya lalu mengambil pena. Ia menulis,
"MA`ALLAH" hanya satu kata ia tulis dengan huruf kapital dengan ukuran besar hampir memenuhi satu halaman. Ia pandangi kembali tulisan itu lalu ia mengambil stabilo. Lalu menggaris tulisan itu dengan stabillo sambil membacanya pelan namun penuh tekanan "Ma`allah." [Zuna Arridlo]
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment