Allah Yang Butuh Kita Ataukah Kita Yang Butuh Allah?


Sebuah Renungan, Oleh :
Anton: Pengajar di SMA IT Ihsanul Fikri Mungkid

“Sesungguhnya Aku ciptakan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah kepada-Ku." 
(Q.S Adz-Dzariat : 59)

Mungkin suatu saat kita pernah merasa hampa dalam beribadah. Ibadah yang kerap dilakukan terasa kering tanpa ruh. Seolah-olah hanya menjalakan rutintas belaka tanpa makna. Bahkan dalam kondisi sendiri, kita sering merasa futur dalam beribadah. 

Mungkin dalam hati kita sering melakukan pembelaan-pembelaan yang sebetulnya tidak patut dibela. Misalkan kita beralasan karena pekerjaan yang “padat merayap” dan lain sebagainya. Di sisi lain, ternyata ada sosok manusia yang boleh jadi pekerjaannya jauh lebih banyak ketimbang kita. Namun ia masih istiqomah menjalankan ibadah harian. 

Kita tanpa sadar sering meninggalkan amalan-amalan sunnah harian. Bahkan terus-menerus berlangsung tanpa kita sadari. Semakin sering maka semakin biasa kita meninggalkannya. Seakan-akan tidak merasakan kehilangan atau berdosa ketika meninggalkannya. 

Dahulu saat kita belajar mengaji, mungkin kita begitu bersemangat melakukan amalan-amalan sunnah itu. Kita tidak rela meninggalkannya meski dalam keadaan sibuk sekalipun. Bisa jadi ketika kita dalam kondisi sibuk kita berjihad mencuri-curi waktu untuk melakukan amalan-amalan sunnah tersebut. Allah terasa begitu dekat dihati kita. Kita seakan-akan begitu sangat diawasi, sampai-sampai kita sangat khawatir jika amalan-amalan sunnah itu kita tinggalkan.  

Amalan-amalan sunnah itu ibarat ban luar kendaraan kita. Ketika ban luar itu tidak kita perbarui, lama kelamaan ban luar itu tidak menjadi pelindung ban dalam lagi. Akibatnya, ban dalam kendaraan kita sering bocor. 

Dahulu saat belajar mengaji kita begitu bersemangat menasehati sahabat-sahabat kita ketika mereka lalai dalam menjalankan ibadah. Namun dengan dalih kedewasaan beragama, kita membiarkan saja sahabat kita itu meninggalkan ibadahnya. Baik karena lupa ataupun disengaja. Menasehati dengan kata-kata haluspun tidak. Memberikan sindiran secara haluspun pun tidak. Kita menjadi individualistis. 
"Ah biarkan saja itu urusannya sendiri, bukan urusan saya."

Padahal, sangat mungkin bagi kita untuk menasehatinya tanpa harus merusak hubungan pribadi kita. 

Apakah tega kita melihat saudara kita sendiri jatuh ke jurang dengan membiarkannya tanpa menasehatinya? Bukanlah di dalam surat Al-Asr ayat ke- 3 kita telah belajar bahwa tugas menasehati itu bukan monopoli satu pihak? Akan tetapi ada kata “saling” yang berarti ada hubungan timbal balik.

Apakah lantaran khawatir termakan omongan kita sendiri? Takut di cap munafik? Lantas kita menjadi tidak perduli dengan sesama saudara sendiri? 

Terkadang, saya sendiri membayangkan seandainya itu terjadi bagaimana kondisi kita di masa yang akan datang? Ukhuwah Islamiyah bisa sangat terancam dengan gejala individualisme kita. 

Kita membiarkan saudara kita terjatuh tanpa memperdulikannya sekalipun. Nauzubillah mindzaalik.

Sampai dimanakah kita belajar agama Islam? Apakah agama ini hanya kita pahami sebagai wawasan keilmuan semata? Ataukah benar-benar kita amalkan semampu kita kemuliaan-kemuliaan yang ada di dalamnya? Lalu menjadikannya nafas kehidupan kita?

Mari Evaluasi Sekarang Juga

Malasnya kita beribadah sekali-kali tidak akan mengurangi kebesaran-Nya. Bukan Allah yang membutuhkan kita, akan tetapi kitalah yang sangat membutuhkan Allah. Meski sering kali kita melupakan nikmat-nikmat yang setiap detik  kita rasakan. “Nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan? (Q.S. Ar-Rahman: 13). Telah diulang sebanyak 31 kali.

Sungguh Allah Maha Tahu sifat hamba-Nya. Dia tidak menginginkan hamba-Nya terjerumus dalam lembah kenistaan. Melalui surat cinta-Nya, Dia memberikan arahan kepada hamba-Nya agar selalu mendekat kepada-Nya dan mensyukuri segala nikmat-nikmat-Nya. 

Memang sebagaimana sabda Rosulullah bahwa manusia tempatnya salah dan lupa. Akan tetapi, ketika kita lalai kita harus segera bertaubat. Jangan sekali-kali menunda taubat. 

Ketika kita tidak merasakan kehilangan saat meninggalkan amalan-amalan sunnah, hendaknya kita bertaubat. Jangan biarkan noktah-noktah hitam itu menjadi bukit hitam di hati kita.  “Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.” (H.R. Ibnu Majah no. 4251). 

Banyak sekali firman-firman Allah yang memberikan arahan kepada manusia agar tidak terjerumus. Banyak sekali hadits-hadits tentang pentingnya bertaubat dan pentingnya mendekatkan diri kepada Allah. Sudahkah kita menghayatinya? Wallahua’lam bisshowab []
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment