MERENGKUH ALIEN KEMBALI

Oleh: Zuna Arridlo



     Aku shock, tapi sekuat tenaga kutahan ekspresi kekagetannku agar terkesan biasa saja. "Alien", gumamku lirih. Ia benar benar Alien-ku yang dulu. Bagaimana aku tidak shock, Alien mutarobiku dulu, penampilannya kini, rambutnya tergerai, sebagian dicat pirang. Ia mengenakan kaos ketat tanpa lengan, memperjelas lekuk tubuhnyà, dengan padanan rok yg juga ketat, satu jengkal lebih, mungkin, di atas lututnya. Aku tak bisa mendifinisikan gemuruh tidak karuannya rasamu.

     " Assalamulaikum mbak Fida" sapanya dingin, suaranya datar dan dingin. Aku berusaha menguras semua sisa sayangku pada Alien untuk kutumpahkan padanya sekarang. Kujawab salamnya hangat,  kuulurkan tanganku kegengam erat tangannya. Kepeluk ia. Meski aku tidak merasakan sambutannya. Ia tetap dingin, cenderung beku.

     Apa ini akibat dari rentetan kekecewaannya, yang bertubi-tubi tanpa pernah tercairkan hingga mengeras dan mengkristal. Dan aku sebagai murobbinya dulu, kemungkinkan besar kalau enggan kusebut "pasti" adalah bagian dari kekecewaannya. Tiba-tiba ada rasa mengedor-gedor dinding lubuk hatiku. Perih.

     Pentingkah mengingat kesalahannya dulu, ketika ia nyata di hadapanku menjadi sosok asing yang seperti belum pernah tersentuh dakwah. Lebih penting mana dari menyadari bahwa ada yang salah dalam caraku merawatnya. Ibarat tanaman, ketika ku tahu ia kena hama, terlalu besar dosis yang kusemprotkan untuk mengusirnya. Ia tak tumbuh tak kembang seperti yang kuharap justru ia menkerdil  dan layu.

     Setelah pertemuan tak sengaja itu, aku bertekad menebusnya. Aku berharap Allah masih memberiku kesempatan. Setidaknya  aku harus berusaha.

     Sore itu kukunjungi rumahnya. Aku tahu dari sepupunya ia masih akan tinggal kurang lebih sebulan. Kuinjak kembali  teras rumahnya setelah 4 tahun yang lalu, sebelum  akhirnya ia memilih meninggalkan Magelang. Pergi ke ibu Kota.
"Mau apa mbak Fida ke sini?" Tanyanya dingin belum ada yang berubah dari ekspresinya kemarin, sama, dingin. Belum lagi aku menjawab ia masuk ke dalam rumah tanpa  mempersilahkanku. sejenak kemudian ia sudah keluar kembali dengan  penampilan berbeda.
"Maaf mbak, aku ada keperluan, aku harus keluar" . ia meninggalkanku terpaku di teras rumahnya sendirian.

     Selang sehari aku mengunjunginya lagi. Aku bawa martabak telor yang kubeli dari perempatan blabak. Langganannya dulu. Aku rela antri lumayan lama. Aku tahu Alien sangat keranjingan dengan martabak telor.
"Maaf mbak aku ada janjian" katanya tetap dengan nada dingin sambil berjalan ke arah motor.  Seperti kemarin aku dibiarkan terpaku di teras rumahnya, tanpa berkesempatan berucap sekata pun.

     Ini adalah kunjungaanku yang ke 7 setelah 6 kali dengan kualitas dan kuantitas pertemuan yang nyaris sama. Dingin. Kali ini ibunya lebih dulu menemuiku aku dipersilahkan masuk. Sambil bertanya kabar. Setelah beberapa saat menunggu, Alien keluar menemuiku. Kini kami hanya berdua di ruang tamu.
" Sebenarnya apa tho yang diinginkan  Mbak Fida?"
Aku baru menata apa yang akan kukatakan, Alien menyambung kalimatnya "Cukup mbak, dunia kita sudah sangat berbeda...aku tak pantas...."
"Aku tak pantas berada di antara manusia-manusia suci tanpa kesalahan seperti mbak Fida dan yang lain" suaranya menahan emosi.  
"Bukankah seleksi alam itu keniscayaan?" katanya menirukan kalimatku dulu. Ada rasa menyayat hatiku. 
"Alam sudah menyeleksiku Mbak! Mbak Fida sudah melihat sendiri, aku tidak lulus" sambungnya dengan nada meninggi. Aku tak bisa berkata apapun. Tapi meski aku tidak bicara apapun aku ingin Alien bisa merasakan bahwa aku sayang padanya. Aku tulus peduli padanya.

     Ini adakah kujunganku yang ke 11. Kunjungan ke-8, ke-9, ke-10 tidak kurasakan perubahan berarti. Alien masih dingin dan beku. Meski bisa jadi ada yang sudah mencair, tapi karena tidak signifikannya yang kurasakan seperti sama saja. Ia menokku. Alien  besuk kembali ke Jakarta.  Ya, ibu kota sudah berhasil menelannya. Mengubah ia yang datang dengan segenap luka dan kecewa menjadi seperti sekarang ini. Kutarik nafas panjang sambil beristigfar dlm  hati. Ampuni hamba ya Allah, Ampuni dia . sekarang semua keserahkan pada-Mu.
"Maafkan mbak, De!"   kutatap Alien lekat lekat.  Kupegang punggung tangannya. 
"kalau boleh mbak mohon"  suaraku tercekat. 
"De, kamu boleh kecewa, boleh marah pada mbak, pada yg lain, karena  dulu, kami jauh dari bijak mensikapi permasalahanmu. sekali lagi  mbak minta maaf. tapi tolong, Mbak benar-benar mohon, jangan marah sama Allah ya....!"
Sebelum pamit kupeluk dia. Tulus kudoakan ia "Semoga Allah selalu menyanyangimu De" 
Ia memang tak menyambut pelukanku. Tapi aku merasakan ada gejolak yang ia tahan. Matanya basah. Aku segera pamit. Aku kuatir ia malu aku memergokinya.

        ***

     Waktu sudah sore, aku bergegas ke luar gedung .  Di  tempat ini,  Pameran Industri kabupaten,  setahun yang lalu pertemuan tidak sengaja dengan Alien itu, kuhela nafas panjang.  Aku sudah berusaha, selama setahun ini juga, selalu kuselipkan Alien dalam doa doaku,  agar hidayah Allah kembali padanya.

    Mendung mengelayut pekat.  Aku tak membawa jas hujan.   Aku bergegas menuju motorku. Sejenak kemudian sudah melaju. Berharap bulir-bulir air lembut yang mulai bertaburan tidak cepat menjelma jutaan jarum-jarum air yang akan menancapiku.

    Sampai rumah kuparkir motor. Kulihat gadis dengan gamis biru bunga-bunga dan jilbab panjang senada di teras menatapku.  Ia tersenyum hangat.
"Alien" pekikku kaget.   Aku tidak berusaha menyembunyikan kekagetanku.
"Assalamulaikum mbak Fida" suaranya lirih tercekat. Terasa menyimpan gumpalan kerinduan. Aku terpaku. Sejenak kemudian kami sudah berpelukan, hangat dan sangat hangat. 
"Mbak, bimbing aku kembali" suaranya terisak. Sedari tadi air yang mengenangi kedua mataku akhirnya pecah. Rasaku berkecamuk tak karuan tapi kali ini mampu kudifinisikan. ini  campuran bahagia, haru dan syukur yang tak terhingga. Terimakasih Ya Allah,  kau ijinkan aku merengkuh Alien kembali.
Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment