Apakah Penghancuran PKS untuk Pelemahan Islam..? | Melacak Jejak "Badai" PKS dari Perspektif Kolonialisme


Tulisan ini dilatarbelakangi keprihatinan perihal kasus daging impor di
Indonesia. Bukan prihatin atas “prahara” yang menerpa Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), atau berempati kepada oknum kader yang terlibat, ataupun
pro dan kontra pada peristiwa itu sendiri —penulis bukan orang politik—
tetapi inti keprihatinan ialah gegap propaganda di berbagai media seperti
sudah diluar kelaziman. Telah melebihi kewajaran. Hal ini yang layak
dikaji.

Konsekuensi logis berupa “vonis sosial” via media memang telah melekat
terhadap pihak-pihak yang terlibat hampir tanpa pembelaan, dan dalam
perpolitikan, itu syah-syah saja karena merupakan resiko meski
sesungguhnya tidak ada langkah mati dalam politik. Bahkan jamak di dunia
politik, setiap tujuan niscaya membawa (ada) korban. Itu yang dinamai
‘tumbal politik’. Meskipun terkadang, terpaksa —atau mau tidak mau— harus
mengorbankan kelompok, partai, rakyat bahkan keluarga sendiri.

Membaca arah politik, jangan sampai tertipu dengan apa yang terjadi di
atas permukaan, karena sering ia cuma deception, sekedar pengalihan
situasi, dan lain-lain untuk memuluskan agenda utama. Entah apa. Namun
lazimnya terkait “kekuasaan”. Manakala masuk ke rimba politik tanpa
strategi dan taktik, maka ibarat kambing yang dipiara setelah besar harus
siap dijual atau disembelih.

Terkait dugaan korupsi impor daging para kader PKS, kini berkembang
kegelisahan di masyarakat soal trial by press serta caci maki berbagai
elemen bangsa yang marak digebyarkan media. Sepertinya arah (indikasi)
makian ingin menyudutkan, atau menjelek-jelekan ‘basis ideologi’ serta
bendera landasan partai tersebut. Ini perlu dicermati. Dalam hal ini
adalah Islam. Ya. Islam sebagai entitas, ia bukanlah ideologi, bukan pula
aliran, ataupun suatu kepercayaan tertentu di masyarakat. Islam itu agama
dari langit. Hal ini mutlak digugat jika tendensi cacian mengarah kesana.
Dan jika mengikuti gebyar media mainstream, tanpa sadar segenap elemen
bangsa hampir-hampir larut atas hiruk–pikuk yang tersurat tanpa mampu
melihat hal tersirat di balik semua itu. Bukankah kata Pepe Escobar,
wartawan senior Asia Times, politik praktis itu bukan yang tersurat
melainkan apa yang tersirat?

Sekali lagi, tulisan ini tak hendak turut campur dalam carut marut politik
yang terbukti tidak memiliki arti apa-apa bagi Kepentingan Nasional RI
(KENARI). Dinamika politik kita hampir tidak ada manfaatnya bagi
kesejahteraan rakyat. Cuma glamour di pesona dan cenderung high cost.
Penulis sengaja menjauh dari gaduh kepentingan, berhening pikir sejenak —
lalu mengkaji peristiwa secara total dan jernih, mencoba menyelami hal
terdalam dari yang paling dalam. Inilah uraian sederhananya.

Benarkah Olong Agen Asing?

Melacak jati diri Ahmad Fathanah alis Olong akan meluas kemana-mana,
terkait topik ini sebaiknya dimulai ketika ia ditangkap di Bangkok lalu
dideportasi ke Australia (Aussie), oleh sebab terlibat human trafficing
sekitar 353 orang ke Christmas Island, Aussie (1999).

Sebetulnya ia terancam 20 tahun penjara, tetapi hukuman dijalani 3 tahun
karena dinilai “kooperatif” terhadap pemerintah federal. Entah kenapa.
Informasi yang berkembang tentang “kooperatif” yang dimaksud karena Olong
dekat dengan lingkaran dalam PKS. Sementara ada fakta bahwa saat itu
ekspor sapi Aussie ke Indonesia terkendala akibat kebijakan Menteri
Pertanian (Mentan) RI Suswono menekan angka impor. Retorikanya: adakah
deal khusus antara Aussie dengan Olong atas keringanan hukuman sehubungan
dengan kendala serta prospek ekspor sapi Aussie ke Indonesia? Fakta lain
yang menarik, Pak Suswono, Mentan RI itu dari PKS.

Menyimpang topik sebentar tetapi masih dalam koridor materi, bahwa dokumen
Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit mencatat, ketika
mengamankan rencana kolonialisasi, pihak Barat menyiapkan beberapa metode
dan modus operandi. Terkait kasus PKS, mungkin modus dimaksud adalah
sebagai berikut:

(1) Membuat Sentimen Agama.

Ini merupakan metode dini atau permulaan, semacam mapping daerah target.
Sudah tentu, latar belakang pemilik kekuasaan dipelajari lalu agama
mayoritas “tuan penguasa” dijadikan alibi. Misalnya membuat sesuatu yang
saat ini tengah dibenci publik. Terkait kasus ini tampaknya isu korupsi,
“main” perempuan, isue suap — dianggap tepat; dan

(2) Menciptakan Agitasi.

Dibuat “peristiwa” yang mampu menimbulkan antipati publik terhadap target
sasaran, tetapi sebaliknya menimbulkan simpati bagi organ yang memusuhi
atau menangani. Misalnya, “diciptakan” kemudian ditinggalkan jejak buruk
kiprah inner circle, atau rekam dosa para kader partai yang ditarget, dan
lain-lain. Retorikanya: benarkah masuknya Olong ke lingkaran dalam PKS
merupakan implementasi kedua metode di atas?

Berbasis circumstance evidence (bukti keadaan) tadi, berapa hipotesa pun
membiak: apakah pihak asing tak suka ekspornya dikurangi kemudian Olong
dikirim untuk bargaining ulang masalah kuota; ataukah impor daging hanya
pintu masuk sedang tujuan Aussie sebenarnya ialah memperlemah partai
ber-“ideologi” Islam; atau ada hipotesa nakal lain, bukankah Aussie
merupakan perpanjangan Barat dan kepentingannya di Asia dalam rangka
menghancurkan simbol agama mayoritas di Indonesia? (baca: Membongkar
Falsafah Perang Barat di Dunia Islam dan Indonesia, di
www.theglobal-review.com). Silahkan berhipotesa serta berargumen berbasis
fakta, data dan logika.

Dalam diskusi terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan
Dirgo D. Purbo terkuak fakta, bahwa sekitar 80-an persen APBN Australia
tergantung Indonesia. Arti “tergantung” disini dapat dimaknai luas.
Barangkali pengiriman berbagai ekspor-impor (raw material) Aussie dari dan
menuju berbagai benua mutlak harus melewati perairan Indonesia, atau
mungkin republik tercinta ini sekarang dinilai sebagai sumber devisa
Aussie dari sisi ekspor, dan lain-lain. Tampaknya data terakhir, Indonesia
dianggap buffer zone bagi Australia. Inilah informasi yang nyata. Maka
membaca serangan bertubi-tubi melalui media terhadap kasus PKS, boleh
dibaca merupakan serangan asimetris asing melalui pintu “impor daging”
yang kebetulan dalam Kabinet RI dikomandoi oleh orang PKS selaku Mentan
RI.

ISAF dan Pola Kolonialisme

Masih ingat International Security Assistance Force (ISAF)? Itulah koalisi
40-an negara pimpinan Amerika Serikat (AS) yang hendak menghancurkan
Islam. Salah satu anggotanya adalah Aussie. Jujur saja, pamor koalisi itu
kini memudar. Ya. ISAF itu “amuba”-nya NATO di Asia. Dan Paman Sam sebagai
pemegang saham utama bertugas menyiapkan pasukan serta modal yang
diperoleh melalui sharing negara anggota. Ia bebas memilih daerah jajahan.
Inggris misalnya, memiliki saham di Basra, Belanda mengkapling Uruzgan,
Israel memilih Lebanon dan sebagian kota di Irak, sementara AS sendiri di
Baghdad, demikian seterusnya. Inilah mapping kapling daerah koloni pasca
serbuan militer AS beserta sekutu (NATO dan ISAF) di Irak (2003-2012).

Akan tetapi ketika ada perlawanan super dahsyat oleh tentara lokal di Irak
—kapling-kapling itu pun akhirnya bubar— dalam logika perang, berita soal
penebalan, atau penambahan pasukan koalisi di Irak dahulu dapat diartikan
bahwa tentara asing banyak yang tewas di medan pertempuran. Tentara lokal
mampu mengalahkan pasukan AS dan sekutu. Ini tak boleh dipungkiri, kendati
media mainstream banyak melakukan edit dan kontra berita. Itu memang
bagian metode kolonialisme. Dan kuat disinyalir bahwa Barat tidak mau
sejarah berpihak kepada Islam.

Tercatat sebelum muncul perlawanan maha dashyat di Irak, sepertinya mereka
ingin berbagi kue (kekuasaan). Bahkan lebih dari sekedar bagi-bagi
kekuasaan, ISAF dan sekutunya berencana membuat umat Islam menjadi budak
di negeri sendiri dan mengusung kelompoknya menjadi Tuan Tanah Baru.
Skenario itu sempat muncul di Negeri 1001 Malam meski akhirnya gagal.

Terkait perspektif catatan ini, akan diurai sekilas perihal pola
kolonialisasi di muka bumi. Ya. Membaca peta konflik dari aspek
kolonialisme yang dikembangkan Barat, hampir dipastikan satu rute bahkan
pararel dengan jalur-jalur (negara) yang memiliki potensi besar atas
minyak, emas dan gas alam. Kelaziman pola adalah tebar duluan isu-isu
aktual terkait budaya dan karakteristik di wilayah target. Setelah itu
dimunculkan “tema” gerakan, dan seterusnya. Tema bisa berujud konflik
internal, invasi militer, jajak pendapat, atau aksi massa non kekerasan
sebagaimana Arab Spring di Tunisia, Yaman dan Mesir. Timor Timur misalnya,
isu yang dilempar soal pelanggaran HAM oleh aparat, kemudian dimunculkan
tema “konflik dan jajak pendapat”, dan ujung (skema) yang diraih ternyata
minyak di Celah Timor yang kini digarap oleh Australia dan Thailand.
Pertanyaannya: jika dulu tak ditemukan potensi besar minyak di Celah Timor
apakah bakal ada jajak pendapat di Timor Timur?

Baluchistan pun demikian juga. Isu yang ditebar tentang radikalisme dan
separatis, tema yang diangkat soal referendum, sedang skemanya tetap
minyak, minyak dan minyak. Apa tidak miskin Pakistan bila Baluchistan
kelak memisahkan diri? Dan banyak lagi contoh lain.

Dengan demikian pola kolonialisme yang digelar selalu diawali dengan
isu-isu (aktual), kemudian dimunculkan tema (gerakan) dan berakhir pada
skema kolonial yang merupakan tujuan pokok. Hingga kapanpun dan dimanapun
model kolonialisasi, skema utama hampir tidak berubah yakni penguasaan
ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA). Kendati pada kasuistis
tertentu bisa meluas ke sasaran lain, akan tetapi ujungnya dipastikan soal
cengkraman ekonomi dan pendudukan SDA di daerah target. Pola ini tidak
akan berbeda baik ketika memakai pola simetris (militer) maupun tata cara
asimetris (non militer).

Kembali ke prahara PKS, tulisan sederhana ini tidak akan mengurai jauh
mengapa PT Indoguna Utama tempat Olong ‘bekerja’ ternyata berpangkal di
Paman Sam, tepatnya berada 141 Pierpont Avenue Salt Lake City, UT 84101
USA; atau kenapa PT tersebut membuka pula layanan jasa intelijen. Catatan
ini juga tidak akan membahas kenapa perkara korupsi lainnya dengan
kualitas dan kuantitas lebih besar justru “dibekukan”. Juga tak akan
diurai 40-an wanita yang menjadi “mainan” Olong, dan lain-lain. Terlalu
berputar-putar malah bias kemana-mana, sedang itu hanya sekedar isu
permulaan dalam tahapan kolonialisasi. Semacam jejak dosa yang sengaja
“diciptakan”, ditinggalkan, lalu diungkap sendiri oleh sang agen ke
publik.

Kajian ini mencoba membidik, bahwa gegap pemberitaan oleh
media-mediamainstream terhadap PKS soal korupsi serta perempuan-perempuan
di sekeliling Olong sesungguhnya merupakan propaganda di tahapan TEMA
kolonialisme, akan tetapi sungguh menyedihkan segenap elemen bangsa malah
larut ke dalam “tarian gendang” yang ditabuh asing.

Menyimak kasus PKS dari perspektif kolonialisme, bahwa tebaran isu
asimetris perihal korupsi daging impor, itu hanyalah pintu masuk pertama.
Sedang tema gerakan bertajuk pelemahan partai berbendera Islam, dalam hal
ini adalah PKS itu sendiri. Ini jelas terbaca. Lihat saja, media lebih
senang memuat berita para kaum hawa di sekeliling Olong daripada mengurai
esensi unsur korupsi PKS. Dari aspek hukum, korupsi itu suatu perbuatan
pidana namun blow up media malah menggebyarkan hal-hal di luar esensi
korupsi kendati memang mata rantainya. Terkesan ada propaganda dahsyat
disana-sini.

Selanjutnya tatkala berkembang argumen bahwa SKEMA kolonialisme cuma
meminta tambahan kuota impor daging saja, boleh dan syah-syah saja. Tetapi
bagi penulis jika sekedar target kuota terlalu kecil dibanding resiko
serta akibat atas ‘kehancuran PKS’ di mata publik sebagai partai Islam
yang besar, solid, militan dan memiliki prospek sebagai partai penguasa.
Dugaan penulis, SKEMA yang hendak ditancapkan oleh Barat justru pelemahan
dan penghancuran Islam di Indonesia melalui modus adu domba sesama umat.

Teori management by objective (MBO) mengajarkan, bahwa meraih tujuan cukup
melalui capaian sasaran-sasaran antara saja. Dalam kasus di atas,
penghancuran PKS hanya sekedar “sasaran antara” tetapi niscaya berefek
pada tujuan pokok, yakni pelemahan Islam. Apakah ini yang tengah
berlangsung? Itu loh partai Islam ternyata bejat! Mau juga korupsi, suka
main perempuan! Amoral! dan lain-lain. Dan tampaknya, skenario dimaksud
terus bergulir liar baik di gedung tinggi, di kampus-kampus, di
jalan-jalan, di bangku sekolahan, bahkan di warung-warung kaki lima.

Selamat datang MBO! Selamat bermain metode agitasi dan sentimen agama di
Indonesia! 


(M Arief Pranoto/Research Associate Global Future Institute
(GFI)/Analisis The Golbal Review, 29-05-2013)

Share on Google Plus

About PKS Kabupaten Magelang

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment