By Pepih Nugraha
Di status Facebook, saya paling getol menghantam dan mengganyang pelaku
korupsi, meski lewat senjata kata-kata. Tidak peduli dia dari partai
apa, agama apa, pejabat siapa, dan suku mana. Saya biasa menerakan
hashtag #corruptshit sebagai olok-olok yang maknanya bisa ditebak. Saya
memang benci koruptor, benci pelaku korup, sehingga saya anggap koruptor
yang telah menggasak uang rakyat itu tidak ubahnya sebagai s**t. Anda
boleh protes, tetapi begitulah sikap saya.
Saya ikuti terus gerak-gerik KPK sebagai lembaga antirasuah yang kali
ini sangat tanggap terhadap temuan segelintir oknum PKS yang diduga
melakukan praktik korup atas rencana penambahan kuota daging sapi impor.
Akan tetapi yang mencengangkan, setidak-tidaknya mencengangkang saya
pribadi, adalah proses hukum yang diberlakukan terhadap petinggi PKS itu
yang tergolong cepat. Lutfi Hassan Ishaq dan Ahmad Fathanah serta
beberapa pengusaha importir yang menjadi tersangka, langsung ditahan dan
disidangkan. Maharany dan Hilmi dijadikan saksi, termasuk Presiden PKS
Anis Matta.
Saya harus bilang salut-salut saja terhadap kerja dan kinerja KPK yang
cepat itu, karena memang begitulah seharusnya. Rakyat ingin segera tahu
dan mendapat kepastian, di mana gerangan letak korupsi yang disangkakan
kepada PKS. Orang-orang PKS dan simpatisannya juga ingin segera
mengetahui hasilnya, sebab dalam pandangan mereka, tidak ada uang negara
yang dikorupsi oleh PKS. Dengan demikian, apa definisi korupsi di mata
KPK sehingga publik segera tahu; oh di situ toh salahnya Lutfi dan
Fathanah, oh ya… pantaslah kalau mereka dihukum sesuai undang-undang.
Saya, walaupun bukan orang PKS, tetap ingin tahu hasilnya… oh begini
toh, dan seterusnya.
Namun jujur, ada yang mengganjal dalam hati dan pikir saya tatkala
memutar jarum ingatan ke belakang yang belum lama terjadi. Bahwa,
beberapa bulan sebelum ramai-ramai PKS yang dalam berita di Jakarta Post
kemarin ditulis “Sex, Lies and the PKS”
terkena kasus, KPK sudah jauh-jauh hari menetapkan petinggi Partai
Demokrat (PD) sebagai tersangka, yakni Menpora Andi Alifian Mallarangeng
dan (mantan) Ketua Umum Anas Urbaningrum. Berbeda dengan petinggi PKS
yang sudah langsung ditetapkan tersangka lalu tidak lama kemudian
digelar persidangan di pengadilan Tipikor, terhadap kasus Hambalang yang
menimpa petinggi PD, hilang seperti bayang-bayang, menguap seolah-olah
tanpa bekas. Wajarlah kalau saya bertanya-tanya dalam hati; adakah
perlakuan KPK yang berbeda terhadap PKS dan PD?
Timbul purbasangka dalam diri; jangan-jangan KPK tidak punya atau kurang
cukup punya nyali dalam memberantas korupsi yang dilakukan sejumlah
elite partai berkuasa? Jangan-jangan jika Anas Urbaningrum disidangkan,
ia akan membocorkan semua orang yang menerima duit Hambalang, termasuk
oleh lingkaran Istana dan keluarga Presiden. Kita diingatkan kembali,
Ibas pernah disebut-sebut menerima uang Hambalang dan ada bukti yang
sempat beredar, meski tentu saja Ibas membantahnya. Bisa jadi Anas dalam
sidang tidak hanya menyebut Ibas, tetapi menyebut keluarga SBY lainnya
dalam kasus Hambalang. Bukankah jika ini terjadi akan mengguncang
stabilitas negara?
Apakah karena alasan ini KPK menjadi takut dan berusaha menunda-nunda
proses hukum terhadap para tersangka korupsi di PD? Mengapa tersangka
KPK langsung ditahan sementara tersangka PD bisa lenggang-kangkung ke
mana ia suka, termasuk melancong ke Bali? Tidakkah ini bentuk
diskriminasi hukum yang nyata-nyata dilakukan KPK terhadap sesama
tersangka? Bagaimana KPK menjelaskannya kepada publik tentang hal ini?
Jangan-jangan kalau para tersangka dibiarkan berkeliaran, mereka cukup
waktu untuk membuat manuver-manuver, misalnya menghilangkan bukti-bukti.
Apakah kemungkinan ini luput dari antisipasi KPK?
Saya kira, KPK harus menunjukkan kepada publik satu bentuk keadilan yang
berlaku sama buat semua, tidak pilih-kasih dan tebang pilih. Publik
sangat menghargai dan mendukung kerja serta kinerja KPK sebagai lembaga
antirasuah yang disegani. Namun demikian, publik juga harus diberi satu
pehamaman yang bisa diterima akal sehat, bahwa apa yang dilakukan KPK
adalah suatu proses hukum yang adil bagi para tersangka koruptor, baik
dari PD, PKS, Golkar, PDIP, atau partai-partai lainnya. Dengan demikian,
KPK tidak terkesan tebang-pilih dalam melakukan proses hukum,
sebagaimana perbandingan terhadap PKS dan PD.
Sebagai teman Ketua KPK Abraham Samad (semasa bertugas di Makassar
2002-2004 kami teman makan dan jalan), saya bisa saja menelepon yang
bersangkutan atau setidak-tidaknya berkirim SMS menanyakan tentang hal
ini. Tetapi, rasanya saya tidak harus menempuh jalur kedekatan ini untuk
sekadar ingin tahu secara pribadi. Lebih baik dikemukakan saja kepada
publik seperti ini, biar menjadi pembelajaran bersama.
0 comments:
Post a Comment